Mengapa Kita Lebih Berani nge-chat Dibanding Berbicara Langsung?
- SOFWA
- May 31
- 2 min read
Saat kita mengirim pesan teks, kita tidak berhadapan langsung dengan reaksi orang lain. Tidak ada tatapan mata, perubahan ekspresi, atau intonasi yang harus kita tangkap atau respon seketika. Ini yang disebut sebagai media richness theory (Daft & Lengel, 1986). Komunikasi tatap muka dianggap sebagai media yang “kaya” karena mengandung banyak sinyal nonverbal. Sebaliknya, teks adalah media yang “kurus”—dan karena itu, terasa lebih aman.
Penelitian oleh Suler (2004) menyebut ini sebagai “online disinhibition effect”. Dalam konteks digital, orang cenderung lebih terbuka, lebih berani, bahkan kadang lebih kasar, karena ada rasa anonim dan lepas dari konsekuensi langsung. Meskipun saat bertukar pesan kita tidak sepenuhnya anonim, ketidakhadiran fisik lawan bicara menciptakan jarak emosional yang membuat kita lebih “bebas”.
Waktu Jadi Senjata
Berbicara langsung itu menuntut kecepatan. Respon harus cepat, spontan, dan kalau salah—risikonya langsung terasa. Dalam pesan teks, kita punya waktu. Untuk memilih kata, menghapus, mengedit, mikir dulu baru kirim. Bahkan untuk memutuskan tidak membalas sama sekali.
Waktu ini menciptakan rasa kontrol. Kita bisa mengatur narasi, memilih nada bicara, bahkan menyembunyikan kegugupan. Goffman (1959) pernah bilang bahwa dalam interaksi sosial, kita selalu “menampilkan diri”—dan lewat teks, panggung itu bisa kita atur sepenuhnya. Kita jadi sutradara dari citra yang ingin ditampilkan.
Tidak Ada Interupsi, Tidak Ada Tatapan
Dalam komunikasi langsung, seringkali yang bikin gugup bukan apa yang kita katakan, tapi bagaimana orang lain menyimaknya. Tatapan mata, gerakan tubuh, atau sekadar jeda napas bisa terasa intimidatif. Dalam teks, semua itu hilang. Tidak ada yang menyela. Tidak ada yang menunjukkan ketidaktertarikan. Kita punya ruang untuk bicara sampai tuntas.
Ruang ini bukan cuma teknis, tapi emosional. Penelitian oleh Gonzales & Hancock (2008) menunjukkan bahwa menulis pesan bisa membantu membentuk dan mempertahankan identitas diri. Lewat teks, kita bisa jadi versi terbaik dari diri kita—atau paling tidak, versi yang kita rasa lebih berani.
Tapi Ini Bukan Berarti Kita Sedang Palsu
Mudah untuk menganggap komunikasi teks sebagai kurang “otentik”. Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Kadang justru dalam tekslah seseorang merasa lebih bisa jujur. Dalam studi oleh Joinson (2001), ditemukan bahwa orang cenderung mengungkapkan informasi pribadi lebih banyak saat berbicara lewat media digital ketimbang tatap muka.
Bukan karena mereka sedang berpura-pura, tapi karena mereka merasa punya ruang aman untuk berkata sejujurnya. Jadi, yang berubah bukan kepribadiannya—tapi konteksnya.
Penutup yang Bukan Kesimpulan
Kita hidup di zaman di mana kata-kata bisa diketik, diedit, dan dikirim kapan pun. Tentu ini mengubah cara kita mengekspresikan diri. Tapi keberanian dalam teks bukanlah ilusi. Ia adalah bentuk baru dari komunikasi: yang tidak selalu spontan, tapi tetap tulus. Yang tidak selalu frontal, tapi bisa sangat jujur.
Mungkin bukan kita yang berubah—cuma cara kita bicara yang menyesuaikan diri.
Referensi:
Suler, J. (2004). The online disinhibition effect. CyberPsychology & Behavior, 7(3), 321–326.
Daft, R. L., & Lengel, R. H. (1986). Organizational information requirements, media richness and structural design. Management Science, 32(5), 554–571.
Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life.
Joinson, A. N. (2001). Self-disclosure in computer-mediated communication: The role of self-awareness and visual anonymity. European Journal of Social Psychology, 31(2), 177–192.
Gonzales, A. L., & Hancock, J. T. (2008). Identity shift in computer-mediated environments. Media Psychology, 11(2), 167–185.
FORGED IN FIRE
FUELED BY DESIRE
😯